Bismillahirrahmanirrahim
Seorang guru membahas tentang karakter dan juga kurikulum tigabelas setelah menuduh seorang anak mengerjakan tugas dengan bantuan kunci jawaban dari buku tersebut. Tidak pantas jika saya hanya mengetikkan menuduh, karena memang yang dituduhkan kepada anak tersebut benar adanya -sepengetahuan saya-. Tetapi jika beliau ingin mempersalahkan siswa tersebut kenapa beliau tidak mengintropeksi diri terlebih dahulu. Tugas itu diberikan sebelum beliau memberikan penjelasan sama sekali, saat itu kalau tidak salah hari sabtu pertama setelah liburan semester. Beliau tidak dapat mengajar dikarenakan suatu hal. Para siswa termasuk saya mengerjakan tugas dalam buku tersebut mengetahui bahwa guru tersebut sangatlah disiplin. Sebagian siswa mengerjakan di bagian depan ruang kelas, mereka heboh meminta kepada salah seorang anak untuk mencari kunci jawaban, dikarenakan waktu yang sangat mepet untuk mengerjakan soal dari satu bab penuh yang belum pernah dipelajari (karena saat itu saya melihat banyak anak yang malas untuk membaca materi awal secara mandiri -termasuk saya- ). Saya tidak mengingat semuanya secara detail, saya ikut bergabung di bagian belakang ruang kelas bersama anak-anak rajin yang sedang berusaha memecahkan soal tersebut semampu yang mereka bisa. Setelah beberapa saat saya membaca materi, memecahkan beberapa soal dengan diskusi yang kami lakukan bersama, dan merasa tidak sanggup menjawab lagi di tengah-tengah pengerjaan -terutama untuk uraian yang materinya tidak tersurat dalam buku-, saya sempat menyarankan kepada siswi-siswi yang berdiskusi bersama-saya- untuk meminta kunci jawaban kepada anak-anak depan. Salah seorang anak menimpali penuturan saya "halah, buat apa toh paling juga ga dilihat, lagian kan gurunya kalau belum pernah ngajarin juga biasanya bilangnya kerjakan semampu yang kita bisa. Nanti kalau kejawab semua gurunya malah gamau jelasin lagi. dikiranya kita udah pintar." salah seorang anak lagi juga berkata "gausahlah kunci-kuncian, nanti pas ditanya kita ga bisa, malah kena semprot" "lagian kan kalo kita ngerjain sendiri kita jadi lebih paham dan tahu maksudnya" sahut salah seorang yang lain.
Saya hanya mengangguk-angguk menyetujui dan kemudian kembali mengerjakan. Bedanya dengan anak depan, anak bagian belakang tetap mengumpulkan meskipun hanya mengerjakan bagian pilihan ganda dan sebagian kecil dari uraian, sedangkan anak bagian depan mengumpulkan dengan jawaban hampir lengkap lebih banyak daripada anak bagian belakang.
Dan hasilnya terlihat hari ini, kelompok belakang lebih mudah menjawab ketika dipertanyakan alasan pemilihan jawaban mereka daripada anak kelompok depan. Dan ternyata uraian yang tidak terjawab oleh kami benar-benar tidak dibahas, mungkin karena gurunya juga mengerti atau bahkan memiliki kontak batin dengan kami bahwa kami tidak -ralat : belum- dapat mengerjakan soal tersebut. dan terjadilah kejadian seperti dalam paragraf awal yang telah saya ketikkan tadi.
Guru tersebut berkata bahwa karakter anak kelas saya sangat kurang, dan mengatakan bahwa yang diperlukan dalam kurtibel(singkatan : kurikulum tiga belas) mengajarkan tentang spiritual dan emosional, dan bukan tentang pengetahuan. Tapi nyatanya anak-anak masih saja mementingkan nilai pengetahuan daripada nilai spiritual dan karakter (emosional). Beliau bercerita panjang lebar tentang usaha yang berbeda dari anak pada jaman dulu, dan anak jaman sekarang yang ingin mudahnya saja dengan sedikit usaha yang dilakukan. Berkat beliau saya jadi terinspirasi untuk menuliskan kembali tentang "Karakter anak bangsa". Dan mirisnya lagi -bagi saya- ketika guru tersebut mengatakan bahwa kelas samping sebenarnya juga lebih parah daripada kelas saya beberapa anak tertawa meremehkan. Bodoh ! Gak tau diri. Begitu pikir saya, kenapa masih bisa tertawa ketika dirinya sendiri yang dibahas, yang dijelek-jelekkan karena -memang- kurangnya karakter dalam diri mereka seperti yang dimaksudkan dalam kurtibel. Mungkin masih merasa diatas ketika diberi tahu bahwa masih ada kelas yang paling bawah dan sedikit bangga, pikir saya lagi tentang beberapa anak yang tertawa tadi. Dan lagi saya berpikir bahwa yang dikatakan guru tersebut tidak -ralat : belum- sepenuhnya benar. Menurut saya, yang masih menjadi tolak ukur orang tua, maupun orang lain pada kenyataannya masih saj tentang nilai pengetahuan tentang angka yang tercetak dalam raport, tidak pernah terpikirkan bagaimana proses mendapatkannya. Mereka -para siswa- cenderung mengesampingkan kejujuran mereka ketika pengambilan nilai dilakukan. Perasaan takut akan di-bully-, dimarahi orang tua, membuat mereka berbondong-bondong memikirkan cara termudah memperoleh nilai baik tanpa harus belajar. Bahkan tanpa dipungkiri beberapa guru lebih cenderung kepada murid dengan nilai pengetahuan baik, dibanding murid dengan nilai pengetahuan rendah nilai karakter tinggi-menurut penilaian saya-.
Jadi menurut saya, sebenarnya anak bangsa terlahir dengan karakter yang baik. Akan tetapi seiring penialaian masyarakat yang beragam membuat mereka, kita, menjadi berusaha seperti apa yang mereka -masyarakat- inginkan. Karena manusia dilahirkan dengan dua sisi, antagonis dan protagonis, seperti yang tergambarkan dalam drama ataupun cerita-cerita lainnya. Antagonis dan protagonis selalu beriringan, dan hal tersebut yang membuat drama/cerita menjadi lebih hidup. Begitu juga dengan manusia yang dengan kedua sisi dirinya yang saling berjalan berdampingan.
diketik pada 6 Februari 2016 pukul 22:56
selesai pada 7 Februari 2016 pukul 00:20
Madiun, ruang tamu+ruang keluarga+ kamar tidur dengan kakak sepupu, nenek, ibu, dan ayah yang sudah tertidur lelap dan berkelana ke alam mimpi
diketik oleh : Bella
murni dari hasil mengingat, sedikit berpikir, dan pengamatan dari diri saya sendir dan beberapa teman yang tanpa mereka sadari saya berusaha menggali informasi dari mereka
terimakasih kepada para pembaca yang telah menyempatkan waktunya untuk membaca hasil ketikan saya ini, dan juga kepasa penginspirasi saya, untuk kali ini khususnya guru saya tercinta, dan teman-teman saya yang namanya tidak saya sebutkan, tapi saya ceritakan dalam artikel kali ini.
dan juga mohon maaf apabila ada yang merasa tersinggung dengan artikel saya, tidak ada sedikitpun maksud dan niatan untuk menyakiti hati siapa pun dalam artikel kali ini.